Materi – Sosialisasi GHB (Gaya Hidup Berkelanjutan) ini merupakan artikel yang diambil dari website zenius.net yang penulisnya adalah Gracia Carolina. Konten di dalamnya cocok untuk digunakan sebagai salah satu Materi – Sosialisasi GHB dan kampanyenya. Kampanye ini merupakan bagian dari kegiatan P5 di Fase E kelas X (Sepuluh).
Apa itu Sustainable Living?
Berdasarkan situs Sustainable Jungle, media yang bergerak untuk meningkatkan kesadaran akan gaya hidup berkelanjutan, sustainable living mengacu pada satu pemikiran atau filosofi praktis yang bertujuan untuk mengurangi dampak lingkungan dengan membuat perubahan positif.
Perubahan positif dalam Materi – Sosialisasi GHB ini maksudnya berupa aksi atau keputusan yang bisa membantu melawan perubahan iklim dan masalah lingkungan lainnya.
Jadi, sustainable living merupakan sebuah metode untuk mengurangi carbon footprint (jejak karbon) kita.
Dengan demikian, aktivitas manusia, termasuk kamu dan admin, memang banyak menghasilkan karbondioksida dan karbon lainnya, ya.
Misalnya, kendaraan berbahan bakar fosil, penggunaan rumah kaca, serta berbagai aktivitas industri, semuanya menghasilkan karbon yang berpengaruh negatif terhadap Bumi kita.
Dengan hidup berkelanjutan, kita harus melimitasi penggunaan sumber daya alam yang nggak perlu, serta mengurangi kerusakan lingkungan oleh manusia.
Selanjutnya, kita akan membahas berbagai masalah lingkungan, serta contoh implementasi sustainable living secara praktis.
Namun, sebelum itu kita perlu memahami tujuan dan etika pada gaya hidup berkelanjutan dulu, supaya kita paham bahwa sustainable living itu sebenarnya cukup kompleks, dan mempengaruhi sektor lain selain lingkungan.
Coba kamu lihat diagram yang bersumber dari Penn State University di bawah ini.
Grafik dalam Materi – Sosialisasi GHB di atas menunjukkan tiga aspek utama dalam gaya hidup berkelanjutan, yaitu society (masyarakat), environment (lingkungan), dan economics (ekonomi).
Di situ, coba kamu lihat uraian apa saja hal pada irisan-irisan tiap lingkaran, yang menggambarkan bagaimana implementasi gaya hidup berkelanjutan.
Kita coba bahas mulai dari irisan sektor masyarakat dan ekonomi deh. Di situ, ada etika bisnis, perdagangan yang adil, dan manfaat yang pekerja rasakan.
Nah, tiga hal tersebut memang perlu untuk kehidupan berkelanjutan bagi masyarakat dan dunia ekonomi, agar para pekerja merasa nyaman dan bisa melanjutkan pekerjaan mereka secara terus-menerus.
Tentunya, aspek kehidupan berkelanjutan berkaitan dengan Hari Lingkungan Hidup Sedunia lebih spesifik ke arah lingkungan ya.
Contohnya, kita bisa lihat dari irisan antara sektor masyarakat dan sektor lingkungan, serta irisan antara sektor ekonomi dan sektor lingkungan.
Seperti pentingnya kebijakan mengenai konservasi, keadilan bagi lingkungan, teknologi ramah lingkungan, efisiensi energi, serta sumber daya terbarukan.
Oke, sekarang Sobat Zenius tentu sudah mendapatkan gambaran lebih jelas mengenai sustainable living secara umum. Ternyata, gaya hidup berkelanjutan cukup kompleks ya.
Pada artikel ini, kita lebih fokus membahas sustainable living, yang berkaitan dengan lingkungan secara langsung.
Dari informasi dari Geneva Environment Network, maksud hidup berkelanjutan di sini merujuk pada perubahan transformatif, melalui kebijakan dan keputusan masyarakat, untuk hidup yang lebih “hijau”.
Lantas, hidup yang lebih “hijau” ini maksudnya gimana nih? Coba kita lihat contoh sustainable living di berbagai bidang pada bagian selanjutnya ya.
Contoh Sustainable Living
Pada bagian Materi – Sosialisasi GHB kali ini, kita bakal bahas berbagai isu lingkungan di berbagai bidang, serta bagaimana gaya hidup berkelanjutan bisa mengurangi atau bahkan menghentikan peningkatan masalah tersebut.
Transportasi
Sobat Zenius, kamu kalau pergi-pergi, biasanya pakai transportasi apa sih? Kalau admin, biasanya pakai transportasi online (mobil atau motor) atau angkutan umum. Maklum, admin belum dapet SIM nih, jadi belum bisa bawa kendaraan sendiri.
Sayangnya, kendaraan yang kita gunakan untuk wara-wiri itu menghasilkan senyawa yang berbahaya lho untuk Bumi kita.
Berdasarkan informasi dari situs Kementerian Lingkungan Hidup & Kehutanan Republik Indonesia (2021), kendaraan bermotor berkontribusi sekitar 70% atas pencemaran senyawa berbahaya seperti pencemaran Nitrogen Oksida (NOx), Karbon Monoksida (CO), Sulfur Dioksida (SO2) dan Partikulat (PM).
Pencemaran ini biasa terjadi di perkotaan. Parahnya, hal ini menyebabkan polusi udara yang mengganggu kesehatan, dan bahkan bisa merenggut nyawa.
UNEP memaparkan bahwa setiap tahunnya terdapat 6,5 juta orang meninggal akibat paparan udara yang berkualitas buruk. Mengerikan sekali.
Sebagai catatan, zat seperti Nitrogen Oksida (NOx), Karbon Monoksida (CO), dan Sulfur Dioksida (SO2), dapat menyebabkan masalah pada organ pernapasan dan tenggorokan. Bahkan, seseorang dapat meninggal bila terpapar dengan parah.
Selain berbahaya untuk manusia, zat emisi karbon dari kendaraan juga berpengaruh buruk terhadap Bumi, terutama pada perubahan iklim.
Selain zat tadi, kendaraan dengan bahan bakar fosil, menghasilkan karbon dioksida yang menyebabkan efek rumah kaca pada Bumi (National Geographic, 2019).
Singkatnya, karbondioksida mendorong perubahan iklim menjadi lebih panas. Soalnya, zat ini membuat panas dari Matahari terperangkap di dalam atmosfer Bumi.
Seramnya, efek rumah kaca ini berkontribusi besar terhadap adanya cuaca ekstrim, gangguan ekosistem, dan peningkatan kebakaran hutan.
Selain masalah kesehatan dan iklim, penting bahwa bahan bakar fosil yang menjadi bahan bakar utama kendaraan itu bersifat nggak terbarukan.
Baca Juga: Proposal Pengelolaan Sampah
Oleh karena itu, bahan bakar fosil sangat terbatas, dan akan habis di masa depan. Lantas, gimana dong cara menggunakan transportasi dengan gaya hidup berkelanjutan?
Paling simpelnya, kita bisa mulai dengan mengurangi penggunaan transportasi berbahan bakar fosil. Gimana caranya?
Gambar 2: Mengurangi dan menghindari penggunaan transportasi dengan bahan bakar fosil. (Arsip Zenius)
Jika kita pergi ke tempat yang cukup dekat, usahakan gunakan sepeda atau jalan kaki saja ke sana, alih-alih menggunakan kendaraan bermotor.
Selain itu, kita bisa coba menggunakan angkutan umum yang mampu mengangkut banyak penumpang, untuk mengurangi penggunaan kendaraan pribadi.
Untuk masalah bahan bakar fosil, masyarakat bisa mencoba sumber energi alternatif lain seperti tenaga listrik dan surya.
Bahkan, beberapa tahun ini industri manufaktur otomotif mulai memproduksi mobil dengan bahan bakar nitrogen cair yang katanya nggak menghasilkan emisi (sisa hasil pembakaran), lho.
Jadi, pada bidang transportasi, kita bisa menjalani gaya hidup berkelanjutan dengan mengurangi penggunaan transportasi berbahan bakar fosil, untuk kebaikan Bumi dan kesehatan kita sendiri.
Makanan
Sobat Zenius, apakah kamu familiar dengan istilah food waste? Menurut keterangan dari National Geographic Society (2020), food waste mengacu pada makanan atau bahan pangan yang sebenarnya masih layak konsumsi, tetapi terbuang.
Waduh, sayang banget ya? Jadi ingat, dulu kalau nasi admin sisa dikit, pasti dibilang nasinya bakal nangis. Nggak tega deh buat nyisain nasi.
Parahnya, berdasarkan data dari United Nations Food and Agriculture Organization (FAO), kira-kira sepertiga makan di dunia merupakan food waste, lho!
Untuk lebih jelasnya, kamu bisa lihat data Statista di bawah ini.
Gambar 3: Data jumlah food waste di dunia. (Dok. Statista 2021)
Dari data Materi – Sosialisasi GHB di atas, kita bisa melihat jumlah makanan yang terbuang setiap tahunnya. Contohnya, di situ ada Cina dengan 91.646.213 ton makanan yang terbuang per tahun. Banyak banget, ya!
Kebayang nggak, berapa jumlah buah, sayuran, daging, dan bahan pangan lainnya yang terbuang sia-sia? Padahal, jumlah hewan terus berkurang, lho.
Admin langsung kepikiran deh, jutaan ton ikan di laut dan sungai yang ditangkap, ujung-ujungnya banyak yang terbuang sia-sia. Gimana kalau suatu saat nanti sumber bahan pangan manusia habis atau hilang?
Untuk mendukung sustainable eating, ada contoh tips simpel dari situs Harvard yang bisa kita lakukan nih.
Yang pertama, utamakan konsumsi tumbuhan dibandingkan daging, karena peternakan membutuhkan lebih banyak makanan, air, tanah, serta energi dibanding pertanian. Simpelnya, makanan berbasis tumbuhan lebih sustainable dibanding hewan.
Kedua, makan dengan tenang dan secukupnya, atau mindful eating. Pada hakikatnya, kamu diminta untuk benar-benar fokus terhadap makanan kamu ketika sedang makan, benar-benar merasakan pengalaman proses makan tersebut (Nelson, 2017).
Kebetulan admin pernah baca buku soal mindful eating ini. Intinya, kita diminta untuk benar-benar menikmati rasa makanan, dan memikirkan segala hal berkaitan tentang makan tersebut.
Gambar 4: Ilustrasi mindful eating. (Arsip Zenius)
Misalnya, ketika admin makan nasi goreng, admin memikirkan bahwa nasi tersebut berasal dari padi yang ditanam oleh para petani, yang kemudian melalui berbagai proses untuk menjadi beras, yang digunakan untuk memasak nasi goreng tersebut.
Itu hanya contoh ya, masih banyak hal yang bisa kamu pikirkan, seperti bagaimana persiapan membuat makanan tersebut, apa kegunaan makanan tersebut bagi kamu, dan lain sebagainya.
Tujuannya agar kita benar-benar sadar bahwa kita makan, dan nggak makan terlalu berlebihan, serta menyisakan makanan tanpa sadar.
Selain masalah food waste, ada isu lain soal pertanian, di mana para petani menggunakan bahan kimia agar tumbuhan dapat tumbuh dengan lebih mudah.
Masalahnya, bahan kimia yang digunakan untuk mengusir hama, bisa membunuh serangga-serangga dan mengganggu ekosistem, serta mengganggu kesehatan manusia yang mengonsumsinya.
Contoh masalah lain, kalau kamu bisa melihat adanya buah atau sayur yang lagi nggak musim di toko, kemungkinan besar pertanian yang menanamnya menggunakan bahan kimia. Sebaiknya, belilah bahan pangan lokal yang sesuai dengan musim.
Lalu, gimana alternatifnya? Kamu bisa mencoba beralih ke hasil pertanian organik, atau bahkan, menanam bahan pangan di rumah.
Nggak perlu sampai membuat kebun yang besar, cukup tanam sesuai dengan kebutuhan kamu saja. Dengan begitu, bahan pangan kamu dapat tumbuh secara berkelanjutan dan memenuhi kebutuhan kamu.
Sampah
Sudah lama sampah menjadi salah satu problem lingkungan paling akut di dunia, dan tentunya untuk Indonesia juga.
Menurut informasi dari World Bank, manusia diperkirakan membuang lebih dari dua milyar ton sampah per tahun (CNBC, 2021).
Sampah ini bentuknya macam-macam, ada makanan, plastik, kayu, metal, karet, kaca, kain, kertas, dan lain sebagainya,
Sebagai informasi, Indonesia pernah dikenal sebagai negara peringkat ke-2 di dunia sebagai penghasil sampah plastik di laut, lho. Peringkat tersebut didapatkan berdasarkan hasil sebuah studi di tahun 2015.
Sampah-sampah dari berbagai belahan dunia yang terombang-ambing di laut, pada akhirnya terbawa arus laut, berkumpul, dan membentuk “pulau sampah” di laut.
Bahkan, ada salah satu pulau sampah terbesar di laut, yang luasnya melebihi negara. Namanya Great Pacific Garbage Patch.
Berikut ini perbandingan luas “pulau” tersebut dengan negara Jerman.
Gambar 5: Ilustrasi pulau sampah dibandingkan dengan Jerman. (Dok. Plastic Atlas 2019 via Flickr)
Bahayanya, sampah bisa termakan oleh hewan, dan mengganggu ekosistem di laut. Untuk informasi lebih lanjut mengenai dampak sampah terhadap kehidupan di laut, kamu bisa baca artikel di bawah ini.
Baca Juga: Formulir Survei Lingkungan Terkait Sampah Daur Ulang
Selain sampah di laut, sampah lainnya yang juga perlu diperhatikan. Contohnya, sampah akibat tren dunia fast fashion. Sekali belanja di toko online, kita bisa langsung beberapa baju.
Lalu begitu sudah nggak jaman, ganti musim, atau bosan, baju tersebut bisa terlupakan atau bahkan dibuang. Baju yang dibeli pun lama-kelamaan menumpuk, dan nggak terpakai.
Apalagi sekarang baju sangat mudah dibeli, dengan harga terjangkau, jumlah produksi juga masif, dan promosi menarik yang nggak ada habisnya.
Selain menimbulkan sampah, industri fesyen juga bertanggung jawab atas 8-10% emisi karbon serta 20% limbah cair di dunia (BBC, 2020).
Lalu, bagaimana gaya hidup berkelanjutan yang bisa kita lakukan di bidang sampah plastik dan fesyen ini?
Perkenalkan, 5R! Yap, bukan 3R ya, Sobat Zenius. Kali ini, admin mau memperkenalkan Refuse, Reduce, Reuse, Recycle, Rot, alias 5R. Maksudnya gimana tuh?
Gambar 6: Informasi tentang 5R. (Arsip Zenius)
Nah, itu tadi merupakan 5R yang diperkenalkan oleh Bea Johnson melalui bukunya Zero Waste Home. Bea sendiri merupakan seorang aktivis, pembicara, dan penulis di bidang lingkungan asal Amerika Serikat.
Dengan menerapkan 5R di atas, kita bisa melaksanakan gaya hidup berkelanjutan, lho. Gimana nih, Sobat Zenius, sudah dapat pencerahan belum soal sustainable living?
******
Baca Juga: Pengolahan Sampah yang Ada di Lingkungan Sekitar
Referensi
- Can fashion ever be sustainable? – BBC (2020)
- Carbon dioxide levels are at a record high. Here’s what you need to know. – National Geographic (2019)
- Events| World Environment Day – Geneva Environment Network (n.d.)
- Food Waste – National Geographic Society (Updated 2020)
- Mindful Eating: The Art of Presence While You Eat – Joseph B. Nelson (2017) via National Library of Medicine
- NITROGEN OXIDES (nitric oxide, nitrogen dioxide, etc.) – Agency for Toxic Substances and Disease Registry (2002)
- The 5 “R’s” of Zero Waste: A Practical Guide – Zero Waste Exchange (2017)
- Trillions of pounds of trash: New technology tries to solve an old garbage problem – CNBC (2021)
- Uji Emisi Kendaraan Sebagai Bentuk Kontribusi Masyarakat Terhadap Pengendalian Pencemaran Udara – Kementerian Lingkungan Hidup & Kehutanan Republik Indonesia (2021)
- What Is Sustainable Living? – Sustainable Jungle (n.d.)
- World Environment Day 2022 – UNEP (n.d.)