Suatu kali, saya mencoba mengingat-ingat perasaan saya pada hari pertama saya berdiri di depan kelas untuk mengajar. Sebagaimana anak didik saya yang juga baru masuk di kelas baru dan masih menyesuaikan diri, mungkin seperti itulah saya. Apa yang saya pikirkan saat itu adalah memastikan hari pertama masuk sekolah berjalan lancar; tanpa masalah, tidak ada interupsi, dan tiada penolakan dari para siswa. Maka, seluruh energi saya terpusat pada untaian kalimat yang dibuat sedemikian sempurna. Sehingga, hari pertama saya mengajar, diisi dengan kegiatan yang meminta murid-murid agar duduk manis dan mendengarkan pidato saya dengan baik.
Inilah, hal yang baru saya sadari sekarang. Pada saat itu, saya pikir saya terlalu fokus pada diri saya sendiri, bukan pada para konsumen kita, yaitu murid itu sendiri. Guru adalah seorang salesman dan murid adalah konsumen kita. Seorang salesman yang sukses tidak semata-mata diukur berdasarkan dari banyaknya produk yang dihafalnya. Sebaliknya, pekerjaannya tersebut justru sebuah hal yang menyangkut penciptaan hubungan. Pada akhirnya ‘minat’ sang salesman terhadap berbagai jenis orang, terbukti menjadi anak tangga utama dalam meraih kesuksesan. Karena memang para konsumen pun menjadi ber-‘minat’ untuk mengenal produk yang ditawarkan sang salesman.
Gambaran ini mirip apa yang disampaikan Alferd Alder melalui teori psikologi individu tentang prinsip tujuan semu. Terkadang apa yang kita lakukan di masa lalu itu penting, tetapi jauh lebih penting adalah harapan kita sebagai individu yang ingin menggerakkan kekuatan-kekuatan tingkah laku manusia seutuhnya baik mengenai diri kita sendiri maupun individu lain di sekitar kita. Sebagai guru, saya pikir tujuan ini yang sangat diidam-idamkan. Hal itu, diamanatkan pula melalui cerita-cerita yang terhimpun selama saya mengajar bahasa Indonesia selama 10 tahun ini. Salah satunya adalah cerita tentang bagaimana seharusnya kita banyak belajar dari siswa dan perubahan di dalamnya. Semoga cerita singkat ini dapat menjadi best-practice minimal bagi saya, atau mungkin bagi siapapun yang membacanya.
Well, cerita ini berawal saat saya juara lomba karya ilmiah pada tahun 2014 lalu. Waktu itu, saya mendapatkan masalah tentang bagaimana mengajarkan kata baku dalam bahasa Indonesia. Penelitiannya sendiri berkenaan dengan kondisi siswa saat itu. Pada saat siswa ditugaskan untuk membuat laporan berbentuk tulisan, banyak sekali kesalahan-kesalahan berbahasa yang timbul. Kebanyakan dari mereka, tidak mengetahui padanan kata istilah asing dalam bahasa Indonesia. Sebagian lain tidak bisa membedakan penulisan kata atau morfem yang baku dalam bahasa Indonesia. Dari penelitian itu juga, saya mendapatkan fakta bahwa tingkat kemampuan siswa dalam membedakan mana kata baku dan kata tidak baku dalam bahasa Indonesia masih tergolong rendah. Salah satu penyebab permasalahan tersebut adalah penggunaan model pembelajaran yang belum tepat.
Karena saat itu teknologi belum sangat menonjol dalam pembelajaran, maka performansi di kelaslah yang menjadi senjata utama seorang guru. Seperti saya, yang pada waktu itu berhasil menemukan model pembelajaran berbasis games konvensional untuk mengajarkan kata baku. Games konvensional itu, saya namakan bisik kata dan kata berkait. Berkat ide saya itu, saya akhirnya dinobatkan sebagai pemenang lomba PTK tahun 2014 di tingkat kabupaten. Nah, asal pembaca tahu; saya sangat jumawa saat itu dan merasa ide model pembelajaran itu adalah yang terbaik. Anggapan-anggapan yang muncul seperti itu, sebetulnya malah membebani dan menyulitkan saya sendiri dalam menjalani pekerjaan saya sebagai guru setelahnya. Itulah salah satu kelemahan saya, yakni ketidakyakinan menerima perubahan.
Gambar 1: Model Pembelajaran Sebelum Tahun 2017 yang Masih Kaku
Bukti dari perasaan terlalu “nyaman” itu terjadi bertahun-tahun setelahnya. Sampai akhirnya, dunia pendidikan benar-benar berubah. Dua tahun terakhir, saya menemukan kesulitan luar biasa dalam pembelajaran. Siswa-siswi saya menjadi sangat terobsesi dengan ponsel pintar android. Saya tidak sadar bahwa memang perubahan itu telah terjadi dan ponsel-lah yang merebut segalanya dari saya.
Maka, model pembelajaran yang selama itu saya banggakan, menjadi tidak mempan. Siswa-siswi milenial ternyata lebih termotivasi belajar dengan android daripada dengan cara-cara konvensional. Perenungan inilah yang meruntuhkan kesombongan saya tentang model pembelajaran berbasis games yang selama ini saya bangga-banggakan.
Memang sih, saya sempat kesal dengan perubahan zaman seperti ini. Sama seperti guru-guru lain saya kira; yang merasa dongkol karena perhatian siswa teralihkan oleh sebuah gadget di tangan. Hingga akhirnya, saya berpikir 180 derajat. Saya berpikir untuk keluar dari zona nyaman saya dengan cara mengubah pola pikir saya. Muncul sebuah asumsi di benak saya: kenapa tidak saya saja yang mengubah cara pandang mengajar. Sampai akhirnya, saya putuskan untuk belajar coding dan bahasa pemrograman android.
Sedikit demi sedikit, akhirnya saya mendapatkan kepingan-kepingan puzzle yang berserakan untuk memperbaiki cara mengajar saya. Kenapa saya katakan demikian? Karena ternyata dalam dunia pendidikan, bukan hanya siswa yang harus belajar, justru guru-lah yang harus terus-menerus belajar. Dan, hal itu saya buktikan awal tahun 2019 lalu dengan membuat media pembelajaran berbasis android, yakni sebuah aplikasi games android bernama TebaKaku.
Gambar 2: Belajar Membuat Game Android Pertama bernama TebaKaku
TebaKaku itu sendiri adalah salah sebuah game berflatform android mengenai trivia tentang kata baku dan kata tidak baku. Meskipun konsepnya mirip games konvensional yang pernah saya terapkan di tahun 2014, tetapi teknisnya sudah berubah. Konsep awal yang berupa media lisan dan tulisan saja berganti menjadi jenis media pembelajaran mutakhir yakni menjadi berbasis game android yang berupa permainan tebak-tebakan. Dengan begitu, bentuk media pembelajaran paling mutakhir ini diharapkan dapat memotivasi siswa untuk lebih mengetahui mengenai pembelajaran bahasa Indonesia mengenai materi kata baku.
Konsep ini saya teruskan menjadi sebuah penelitian. Penelitian awal dilakukan pada kelas X.MIPA.3 dengan jumlah siswa sebanyak 34 orang. Penelitian dilakukan secara berkala melalui dua tahapan. Sebelum menggunakan game TebaKaku dan sesudah menggunakan game TebaKaku. Dari hasil eksperimen, dapat disimpulkan bahwa hasil belajar peserta didik dalam mata pelajaran bahasa Indonesia dengan menggunakan media pembelajaran game android TebaKaku itu ternyata memotivasi siswa lebih baik dan signifikansi hasil belajarnya cukup tinggi, dibandingkan dengan menggunakan model pembelajaran game konvensional. Berangkat dari pemikiran tersebut, saat ini saya mencoba membagikan best-practice saya dengan judul “TebaKaku Bikin Belajar Bahasa Indonesia Tak Lagi Kaku”.
Berdasarkan pencarian jati diri dalam mengajar tersebut, saya menemukan rumusan masalah yang menarik. Pertama adalah bagaimana saya mengubah paradigma pembelajaran berbasis android? Kedua adalah apakah media pembelajaran TebaKaku itu berhasil meningkatkan motivasi dan hasil belajar siswa dalam mata pelajaran bahasa Indonesia? Dengan landasan identifikasi masalah tersebut, saya berharap best-practice ini dapat memotivasi guru-guru lain untuk bisa meningkatkan kualitas dan kinerjanya dengan tetap rendah hati. Selain itu juga, melalui best-practice ini, siswa dapat lebih termotivasi untuk menggunakan android sebagai media pembelajaran.
Gambaran Keberhasilan Games TebaKaku
Sebelum melakukan tindakan dalam penelitian, saya melakukan pengamatan awal di kelas. Hasil pengamatan ini menunjukan hasil belajar siswa pada materi Kata Baku mata pelajaran bahasa Indonesia masih rendah. Berdasarkan kenyataan tersebut, saya mengubah media pembelajaran. Maka, diputuskanlah untuk menggunakan media pembelajaran game android TebaKaku.
Pembelajaran dimulai dengan mengadakan tes tulis awal di kelas X.MIPA.3 untuk mengetahui pengetahuan awal siswa pada materi Kata Baku. Nilai tes awal dijadikan acuan untuk mengetahui hasil belajar siswa kelas X.MIPA.3 sebelum digunakan media pembelajaran game android TebaKaku.. Soal tes awal berisi 20 soal pilihan antara kata baku dan kata tidak baku. Sesuai dengan Rencana Pembelajaran di awal tahun, dibebankan nilai KKM sebesar 74. Dari 20 soal tersebut, siswa yang mendapatkan jawaban benar di atas 14 soal (75 poin) hanya berjumlah 14 orang saja dari 34 siswa keseluruhan di kelas X.MIPA.3. Hal itu berarti hanya 41,18 persen saja yang lulus KKM.
Gambar 3: Media Pembelajaran Game Andorid TebaKaku dalam Pendekatan Kooperatif
Akhirnya, saya pun menyusun rencana pembelajaran. Saya melakukan identifikasi masalah dan merencanakan langkah-langkah yang akan dilaksanakan pada pertemuan selanjutnya. Nah, pada saat pertemuan kedua dilaksanakan, saya pun berupaya menerapkan model pembelajaran yang telah saya susun dalam RPP sebelumnya.
Pertama-tama, saya terlebih dahulu meneliti tingkat kesiapan siswa, mengecek absensi siswa, serta mengondisikan kelas agar pembelajaran dapat berlangsung secara kondusif. Lalu, saya melakukan apersepsi dengan tanya jawab tentang materi yang akan diajarkan. Selanjutnya, saya memberitahukan akan diadakan sebuah permainan berbasis game android yang materinya tentang kata baku. Saya pun menjelaskan tujuan dan aturan permainan tersebut. Permainan sendiri dibagi menjadi 2 tahapan sesuai dengan fitur dalam aplikasi.
Setelah siswa mengunduh aplikasi game TebaKaku di https://m-edukasi.kemdikbud.go.id/, siswa memulai babak pertama yakni Permainan Trivia “Baku atau Tidak Baku”. Siswa cukup memilih satu kata baku di antara dua kata yang ada dalam layar. Misalnya mana kata bakunya: apotek atau apotik. Nah, babak pertama ini dilangsungkan selama tiga tahap, sesuai dengan tingkat kesulitan berdasarkan kecepatan pertanyaan, yakni: mudah, sedang, dan sulit. Babak Kedua adalah Permainan Trivia “Kata Baku dalam Soal”. Siswa memilih fitur kedua, kemudian siswa membaca soal paragraf rumpang dan memilih kata baku untuk mengisi bagian rumpang tersebut.
Setelah permainan dilangsungkan selama hampir satu jam pelajaran, saya pun menutup pelajaran dengan membimbing siswa melakukan diskusi klasikal untuk menarik kesimpulan dari kegiatan yang telah dilaksanakan. Dalam kesempatan ini, siswa diberi kesempatan untuk menanyakan hal yang belum jelas dari kegiatan yang telah dilaksanakan.
Ternyata, pada pertemuan ini saya telah menemukan dan melakukan perbaikan-perbaikan. Perbaikan dalam KBM tersebut yaitu dengan menerapkan game android sebagai media pembelajaran. Di dalam peraturan permainan, setiap siswa diharuskan menjawab soal kuis permainan, sehingga setiap siswa dapat memahami dan menghafalkan langsung daftar kata baku yang ditanyakan. Selain pembelajaran berbasis game android, siswa juga mendapat porsi yang lebih dalam memahami dan menghafalkan daftar kata baku, sehingga siswa bisa membedakan bentukan-bentukan kata mana saja yang termasuk baku dan tidak baku.
Dari rangkaian pengalaman di atas didapatkan asumsi bahwa hampir seluruh siswa menyukai pembelajaran dengan menggunakan media pembelajaran game android TebaKaku. Hal ini dikarenakan siswa lebih senang, aktif, dan lebih termotivasi dalam KBM.
Setelah menerapkan pengalaman tersebut, saran saya terhadap pembaca dalam menerapkan pembelajaran berbasis game andorid “TebaKaku” adalah:
- memperhatikan alokasi waktu pembelajaran
- memperhatikan tes akhir yang akan menggambarkan tingkat keberhasilan pembelajaran dengan menggunakan media pembelajaran game android TebaKaku.
- mencoba membuat game android sederhana secara mandiri
Demikian pengalaman saya dalam menerapkan media pembelajaran berbasis game andorid TebaKaku. Dari cerita ini, saya yakin bahwa saya telah meningkatkan level diri saya setahap lebih maju. Saya menjadi tidak lagi terjebak dalam kondisi “nyaman” saat menjadi guru. Begitupula merasa paling “bisa” mengajar di kelas. Meskipun media pembelajaran game android masih sangat banyak kelemahan, tetapi saya menjadi lebih mau banyak belajar bahkan dari siswa saya sendiri. Sebaliknya; siswa pun merasa keresahan mereka dalam pembelajaran telah terwadahi.***
1 thought on “TebaKaku Bikin Belajar Bahasa Indonesia Tak Lagi Kaku”